Toba | suaraburuhnasional.com – Sesungguhnya kita sebagai warga negara sangat menantikan aksi kongkret pemerintah Indonesia dalam menghentikan kerusakan lingkungan di tanah air. Misalnya, kerusakan lingkungan di Kawasan Danau Toba.
Sampai sekarang ini virus utama penyebab kerusakan kawasan ini masih belum terselesaikan. Padahal Danau Toba sudah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (2008), satu dari lima destinasi superprioritas nasional dan internasional (2019), dan UNESCO Global Geopark (taman bumi) Kaldera Toba (2020), yang saat ini infrastrukturnya terus dibenahi.
Pembiaran ekploitasi di kawasan hutan atau pencemaran danau, dengan pariwisata mendunia. Dalam era pandemi Covid-19, bahkan hanya destinasi yang memenuhi aspek kelestarian lingkunganlah tujuan wisatawan global. Pemerintah dan para pihak sebenarnya telah mengetahui hal ini, tetapi pemerintah belum berani mengambil aksi nyata menghentikan eksploitasi lingkungan di kaldera Danau Toba.
Sama hal juga dalan penyelesaian masalah kerusakan lingkungan Danau Toba itu berada di level pemerintah pusat atau lebih tepatnya Presiden RI. Sebab izin perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan Danau Toba adalah ditangan pemerintah pusat. Itulah sebabnya Togu Simorangkir dan 10 orang lainnya atau dinamakan Tim 11 sampai rela melakukan aksi jalan kaki sejauh 1.700-an km menemui Presiden Jokowi, dimulai dari Istana Sisingamangaraja XII Balige, Kabupaten Toba hingga ke Istana Presiden, di bulan yang lalu di Jakarta.
Tujuan Tim 11 adalah meminta Presiden RI Jokowi turun tangan langsung menghentikan kerusakan lingkungan di kaldera Toba dan mengembalikan tanah ulayat masyarakat adat yang diklaim perusahaan sebagai wilayah konsesinya. Presiden Jokowi ketika itu sempat terkejut dengan data kerusakan lingkungan yang disampaikan, dikiranya dilakukan rakyat ternyata dilakukan perusahaan secara Fakta Nyata.
Sesuai yang diucapkan presiden RI Joko Widodo akan direncanakan akhir tahun 2021, ternyata betul Pak Presiden Jokowi telah berkunjung ke Toba untuk ikut menanami kembali lahan yang telah gundul bersama dengan masyarakat adat. Tetapi aksi ini nantinya sesungguhnya tidak cukup, sebab jika perusahaan masih tetap beroperasi menu utamanya adalah akan terus menebangi hutan serta konflik tidak berkesudahan dengan pemilik tanah ulayat, yaitu masyarakat adat.
Semakin cepat pemerintah berani mengambil keputusan konkret, mengatasi kerusakan lingkungan di Kawasan Danau Toba, semakin kecil biaya yang dibutuhkan untuk memulihkannya. Sebaliknya jika menunda, semakin tinggi biaya yang ditanggung dan semakin lama penderitaan masyarakat yang tinggal di kawasan ini.
Dalam teori sekuritisasi, isu-isu politik dianggap menjadi isu keamanan yang ekstrim dan harus segera ditangani karena bersifat mengancam, mengkhawatirkan eksistensi sebuah objek yang terancam (Clara, 2017). Objek di sini dapat berupa komunitas masyarakat di suatu kawasan, sektor lingkungan, sektor ekonomi, identitas dan budaya suku bangsa. Kerusakan ekosistem kaldera Danau Toba yang masih berlangsung hingga kini, itu merupakan ancaman eksistensial terhadap objek situs taman bumi UNESCO dengan keberlangsungan kehidupan manusia, geologi, hayati dan budaya suku Batak di dalamnya.
Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dalam buku Dampak Operasi PT Inti Indorayon Utama Terhadap Lingkungan Danau Toba (YPDT, 1999), telah menyatakan Danau Toba kini adalah sebuah situs dunia yang sedang merana dan terancam. Kehadiran PT IIU yang kini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dan bukan hanya perusahaan PT TPL yang telah merusak lingkungan saja, akan tetapi Perusahaan PT Inalum Persero yang berada dikecamatan pintu Pohan Meranti, kabupaten Toba, bila perlu juga ditutup saja dari muka bumi ini, ternyata sangat berdampak negatif terhadap mutu lingkungan di sekitar Danau Toba.
Itu sebabnya, Presiden BJ. Habibie Tahun 1999, akhirnya menghentikan operasi kehutanan dan pabrik PT IIU. Namun hanya bersifat sementara. PT TPL dengan slogan paradigma baru dibuka kembali Tahun 2003 itu hanya simbol dan akan berubah segala bentuk yang apatis terhadap masyarakat dan terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga masalah yang sama terus berlanjut hingga kini.
Begitu juga sama halnya dengan perusahaan PT Inalum Persero yang berada dikecamatan pintu pohan Meranti, kabupaten Toba yang katanya tidak punya ada masalah apapun ternyata hasil Surve dilapangan bahwa perusahaan PT Inalum Persero juga banyak kekurangan dibidang lingkungan seperti dikawasan hutan dipinggiran danau Toba, bahkan air danau Toba yang saat ini semaking menurun.”
Terbukti bahwa sesuai fakta di lapangan yang berada di kawasan Danau Toba sudah berapa Perusahaan PT Inalum Persero menanamkan penghijauan di kawasan hutan didaerah pinggiran danau Toba. Karena sampai saat ini level dari pada penaikan air Danau Toba tetap seperti yang sebelum sebelumnya.
YPDT dan organisasi non pemerintah lainnya bersama komunitas masyarakat adat, tidak pernah berhenti menyuarakan kepada pemerintah agar perusahaan PT TPL dan perusahaan PT Inalum penyedot air danau Toba semoga dihentikan secara permanen dari wilayah muka bumi di Tapanuli Raya tersebut.
Warga Tapanuli sudah cukup lama menunggu keputusan Presiden RI Joko Widodo mengenai perusahaan yang Perusak lingkungan seperti halnya Perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan Perusahaan PT Inalum Persero yang berada dikecamatan pintu Pohan Meranti, Kabupaten Toba yang berada produksi pabriknya di Kuala Tanjung di Kabupaten Asahan. Penulis : Octa