Oleh : Aditya Fenra (Penulis Buku Novel Lelaki Berandalan, Manajer Sekolah Kita Menulis Cabang Aceh Tenggara)
Jika kita mendengar kata mahasiswa maka yang terlintas dipikiran kita ialah seorang anak manusia yang menempuh dan menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi yang akan mengemban gelar sarjana dan pasti kita akan berfikir mengenai seorang yang belajar dengan jurusan atau fakultas tertentu. Tetapi sejatinya seorang mahasiswa ialah Agent Of Change (Agen Perubahan) atau orang yang bertindak sebagai katalisator dan mengelola perubahan yang terjadi, yang harus peka terhadap masalah publik di daerahnya masing-masing dan mampu menelan masalah daerah tersebut dengan cermat dan mampu memberi solusi dan menanggapi masalah tersebut dengan memberikan saran atau mendiskusikan dengan rekan sejawat mengenai masalah yang mungkin sedang keterkaitan dengan masyarakat khalayak ramai dan bertindak serta mampu mengaplikasikan gagasan atau ide-ide tersebut melalui tindakan bukan hanya berdiskusi lalu habis di meja kopi dan diam.
Sejatinya seorang mahasiswa hanya mendapatkan ilmu pengetahuan di bangku perkuliahan hanya sebesar 10% dan 90% lagi dengan memberanikan diri mencari di luar bangku perkuliahan dengan membaca buku, berdiskusi, berorganisasi yang lebih komplek lagi langsung terjun ke masyarakat.
Tetapi tidak dengan sebaliknya kebanyakan mahasiswa di Kabupaten Aceh Tenggara hanya seperti pelajar yang duduk di bangku perkuliahan belajar dengan rajin lalu pulang, seperti kata bahasa rekan saya “Mahasiswa Kupu-Kupu (Kuliah Pulang-Kuliah Pulang)” begitu seterusnya sampai mereka mendapatkan gelar sarjananya dan jadilah seorang sarjana yang tidak peka terhadap kondisi daerah, isu politik, solusi masalah dari daerah yang sedang terjadi krisis misalnya.
Siklus yang seperti ini akan membawa mahasiswa tersebut menjadi cetakan sarjana yang apatisme mengharapkan selembar ijasahnya setelah kelulusan di jenjang pendidikan kuliah dan mengharapkan pekerjaan dari lembaga swasta maupun yang lebih parahnya lagi berharap gelar sarjananya mampu membawa dirinya untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Seharusnya mahasiswa yang sejati itu mampu membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran yang sedang berakar di daerah tersebut atau langsung mengedukasi masyarakat yang sedang terpuruk akan ekonomi melalui ide-ide dan gagasan yang mampu membawa masyarakat terlepas dari keterpurukan. Dan lebih parahnya lagi banyak mahasiswa mengeluh akan gelar sarjananya, dikarenakan tidak dapat meraih pekerjaan dari sarjana yang mereka peroleh dan cetakan sarjana seperti ini tidak mengerti akan hakikatnya pasca mereka wisuda, yang hanya terlintas di benaknya selesai wisuda, ijazah yang mereka peroleh mampu menghantarkan mereka di dunia pekerjaan, pola pikir seperti ini adalah salah satu pola pikir garis besar kesalahan dalam merasionalkan pendidikan di perguruan tinggi.
Sejatinya pendidikan perguruan tinggi hanya mencetak andragodi dan tipologi mereka melalui fakultas atau jurusan yang mereka ambil dan seusai pendidikan tersebut seharusnya mereka lebih bijak dan cerdas menyikapi kondisi sosial dan masalah di Kabupaten Aceh Tenggara atau hal yang mampu membawa daerah tersebut semakin baik lagi melalui fakultas atau jurusan yang mereka ambil dan memberi warna perubahan pada negeri yang lebih baik lagi melalui ilmu yang mereka dapat dan gagasan yang mereka peroleh di bangku perkuliahan. Bukan malah sebaliknya lulus dan berharap mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jumlah gaji tertentu.
Biasanya mahasiswa seperti ini akan berputus asa dan menyerah akan kerasnya dunia serta tidak mampu bersaing secara gagasan dan ilmu, biasanya mahasiswa seperti ini setelah lulus dari perguruan tinggi akan melontarkan keluhan dari bibir baunya “Untuk Apa Gunanya Kuliah Hanya Membuat dirinya menjadi Pengangguran Dan Menambah Beban Orang Tua.” Begitu miris bukan, ketika seorang lulusan sarjana masih saja berfikir dangkal seusai mengemban gelar sarjana yang mereka miliki. Lulusan sarjana seperti ini selalu merujuk akan pekerjaan yang mengisyaratkan ijasah di lembaga-lembaga tertentu dan mereka terpaku akan itu.
Bukanya membawa gerakan baru untuk mengurangi pengangguran tersebut, malah terjerumus dalam pola pikir menyerah dan mengeluh, kenapa terjadinya lulusan sarjana seperti ini dikarenakan ketika menjadi seorang mahasiswa mereka tidak mampu menjalin relasi, tidak mampu berfikir yang menghasilkan rangkaian-rangkaian baru untuk mereka sendiri dan tidak sanggup untuk menjadi leader di kalangan masyarakat awam.
Mengapa demikian pola pikir ini selalu tertulis besar di pola pikir mahasiswa di Aceh Tenggara? Itu dikarenakan kurangnya memahami arti dari kata mahasiswa yang mereka emban. Mereka hanya berfikir ketika lulus dari perguruan tinggi hanya mengejar pekerjaan, bukan untuk menjadi sorang pemuda yang bertindak sebagai katalisator dan mampu membawa perubahan yang lebih baik lagi. (*)