Dairi | suaraburuhnasional.com – Pada Selasa, 21 Agustus 2024, Yayasan Petrasa Dairi mengadakan konferensi pers di aula Petrasa, Jalan Medan-Sidikalang No. 17B, dengan mengusung tema “Memperkuat Ekonomi Petani dan Perlawanan terhadap Perusak Lingkungan melalui Pemulihan Ruang Hidup.” Acara ini bertujuan untuk membahas dampak signifikan dari aktivitas pertambangan terhadap para petani di daerah lingkar tambang dan kondisi lingkungan sekitar.
Dalam acara ini, sejumlah tokoh penting hadir sebagai narasumber, termasuk Op. Tomi Boru Purba, seorang petani durian dari Pandiangan, MP Sihombing, petani durian asal Parongil, Diakones Santun Sinaga dari Yayasan Pelangi Diakonia Kasih (YPDK), serta Lidia Naibaho, Direktur Utama Petrasa.
Duat Sihombing, salah satu pembicara, menekankan ancaman serius yang dihadapi para petani akibat operasi berkelanjutan dari PT Dairi Prima Mineral (DPM). Beliau menyampaikan bahwa 80% dari penduduk Kabupaten Dairi berprofesi sebagai petani, dan sektor pertanian berkontribusi sebesar 42% terhadap perekonomian daerah. “Ini menunjukkan bahwa tanpa kehadiran tambang, masyarakat sudah mampu hidup sejahtera secara berkelanjutan,” tegasnya.
Durian Parongil, salah satu komoditas unggulan dari Dairi yang telah dikenal secara nasional karena kualitasnya, berada dalam ancaman besar akibat aktivitas pertambangan PT DPM. Durian yang melegenda ini bukan hanya bagian dari identitas budaya lokal, tetapi juga merupakan penopang utama ekonomi masyarakat di kawasan Silima Pungga-pungga, Lae Parira, Siempat Nempu, dan Siempat Nempu Hilir. Kehilangan komoditas ini dapat mengakibatkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan bagi warga sekitar.
Op. Tomi Boru Purba, yang telah bertani durian secara turun-temurun di Desa Pandiangan, berbagi pengalaman tentang pentingnya tanaman durian bagi keluarganya. Dengan lahan seluas 3 hektar, ia menanam berbagai tanaman, termasuk durian, jengkol, petai, kopi, padi, dan jagung. “Hanya dengan panen durian sebanyak 30%, saya sudah mendapatkan pendapatan sebesar 30 juta rupiah,” ungkap Boru Purba. Dia menambahkan bahwa penghasilan dari durian telah memungkinkan dia untuk menyekolahkan tujuh anaknya hingga meraih gelar sarjana.
MP Sihombing, petani asal Parongil, juga menekankan bahwa kehidupan masyarakat lokal sudah makmur tanpa kehadiran tambang. “Kami rakyat kecil sudah hidup dan kaya dengan bertani. Biarkan kami bertani dan berkreasi di tanah kami sendiri. Dari zaman opung kami hingga sekarang, tanpa tambang kami hidup makmur dan kaya,” katanya.
Diakones Santun Sinaga dari YPDK memperingatkan bahwa para petani berada di ambang kepunahan jika pemerintah tidak memberikan kepastian hukum terkait kepemilikan tanah di sekitar wilayah tambang. Kepastian hukum ini sangat penting untuk menjamin keberlangsungan hidup para petani serta menjaga kelestarian ekosistem pertanian di kawasan tersebut.
Lidia Naibaho, dalam penutupannya, menyatakan bahwa “menanam adalah bentuk perlawanan” terhadap segala ancaman yang merusak ruang hidup petani. Sebagai bagian dari acara ini, Yayasan Petrasa juga merencanakan Festival Durian yang akan diselenggarakan di Gedung Nasional Djauli Manik pada tanggal 29-31 Agustus 2024.
Festival ini akan menampilkan berbagai produk olahan durian, lomba karya tulis dengan tema “Durian vs Perusahaan 5.0” untuk tingkat SMA, lomba mewarnai untuk anak-anak TK, talkshow dengan pembicara nasional seperti Faisal Basri dan para pemerhati pertanian dari Sumatera Utara, serta hiburan panggung rakyat. Acara ini diharapkan dapat memperkuat ekonomi petani dan menjadi bentuk nyata perlawanan terhadap perusakan lingkungan melalui pemulihan ruang hidup. (Cs)