Oleh: Nazwar, S. Fil. I , M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)
Penulis mengirimkan artikel ke Kolom Detikcom diiringi harapan dapat tayang. Media mainstream dengan perjalanan panjang dan reputasi baik di masyarakat serta seringkali menjadi rujukan sebagai standar hurnalistik kekinian menjadikan Detikcom di antara harapan penulis agar dapat tayang artikelnya di sana. Meski ternyata tidak, semisal dari ratusan bahkan ribuan artikel tidak satu pun tembus dalam kurasi redaksi, usaha dengan do’a dan semangat sebagai satu kesatuan dalam proses tersebut tidak padam.
Syarat dan pedoman dalam menulis yang diberlakukan untuk penulis calon columis (sebutan penulis yang artikelnya tayang di Kolom Detikcom) sebagai standar untuk menyusun artikel yang materinya sedemikian rupa diolah melalui pemikiran pribadi penulis. Sebisa mungkin memenuhi syarat, namun artikel yang menyentuh angka tiga digit tidak tayang di Detikcom dapat dikirim ke media lain. Sebagai alternatif, tayangnya artikel di media maupun setelah ditolak tayang di Kolom Detikcom menjadi kebahagiaan tersendiri.
Sebagai contoh artikel yang berjudul Pembangunan Jangka Menengah Berorientasi Pancasila dirasa di antara yang paling bernas dan tidak bertentangan dengan nitche Detikcom, setelah menunggu berhari-hari, akhirnya dikonfirmasi juga yang diawali permohonan maaf dan tentunya diakhiri keterangan bahwa artikel tersebut ditolak atau belum layak tayang di Kolom Detikcom.
Banyak jumlah nampaknya tidak menjadi pertimbangan utama redaksi dalam memutuskan kelayakan artikel yang tayang. Pengalaman penulis pribadi menjadi gambaran betapa banyak artikel tayang di media lain setelah (hampir) semua ditolak redaksi Detikcom. Sampai terbawa mimpi, pengalaman tersebut ternyata berpengaruh pada keadaan pasif menulis. Jika saat menulis dan mengirim adalah usaha keras dan do’a, dalam istirahat fisik muncul berupa mimpi meski tetap dalam wujud kesuksesan yang belum kunjung berupa tayang.
Apa hendak dikata, tatkala usaha do’a dan mimpi telah tertuang sedemikian rupa tetap tidak atau harapannya belum menjadikan artikel tayang di Kolom Detikcom. Beranjak dari mimpi, kiranya suatu saat dapat mimpi indah berupa tayangnya artikel dan menjelma menjadi nyata, mungkin begitu!.
Menakar Kerendahan Hati Redaktur Detikcom
Secara Pedoman Cyber, Detikcom sebenarnya sama saja dengan mendia online lain yang menjadi positvistik sebagai semangatnya. Namun secara substansi, Detikcom ternyata bukan penganut jurnalistik sebagai paham (Jurnalisme). Karakteristik Detikcom khas dengan corak positif dalam berjurnalistik.
Dalam realita jurnalistik terbukti sepakterjang Detikcom sebagai media yang relatif muda, namun ditopang dunia industri sedemikian rupa, menjadikan Detikcom melesat dan berkembang begitu cepat. Bahkan pamornya sampai pada dunia lain yang kontras dengan asal-muasalnya yaitu dunia hiburan namun juga digilas seperti segmen hikmah, edukasi, dan lain sebagainya.
Lebih dari itu, kesempatan yang dapat dimanfaatkan penulis agar dapat lolos kurasi redaksi adalah “positioning!” Penempatan posisi penulis sebagai calon kolumnis yang berharap dapat diterima di Kolom milik Detikcom. Artinya, substansi artikel berikut penyajian yang ideal tidak serta merta dijadikan sebagai pedoman dalam penulisan. Termasuk urgensi persoalan yang diangkat, meski termasuk namun bukan yang utama. Jauh dari itu, merendahkan diri di hadapan dewan redaksi adalah poin tertinggi. (*)